Sumpah Pemuda 1928: Titik Balik Lahirnya Bahasa Indonesia

Sumpah Pemuda 1928: Titik Balik Lahirnya Bahasa Indonesia

Abstrak

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 merupakan tonggak sejarah lahirnya Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa. Di tengah kondisi Hindia Belanda pada awal abad ke-20, muncul kesadaran kolektif kaum muda untuk mengatasi perbedaan suku, budaya, dan bahasa demi mencapai persatuan. Melalui dua kongres pemuda, khususnya Kongres Pemuda II, diputuskan bahwa Bahasa Indonesia menjadi simbol identitas nasional sekaligus alat perjuangan melawan penjajahan. Peristiwa ini tidak hanya memantapkan tekad berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu, melainkan juga menegaskan bahwa persatuan lahir dari keberagaman yang diterima sebagai kekuatan bersama. Hingga kini, Bahasa Indonesia tetap menjadi perekat bangsa sekaligus fondasi ideologis yang perlu dijaga eksistensinya di tengah arus globalisasi.

Kata Kunci

Sumpah Pemuda 1928; lahirnya Bahasa Indonesia; bahasa persatuan Indonesia; peran pemuda dalam persatuan; sejarah bahasa Indonesia;

Pendahuluan

    Pernahkah kita membayangkan bagaimana sebuah negeri yang membentang dari Sabang hingga Merauke, dengan ratusan bahasa daerah dan beragam budaya, dapat menemukan titik temu untuk bersatu? Kala itu, perbedaan bahasa kerap menjadi hambatan komunikasi antarsuku bangsa. Namun, pemuda Indonesia di awal abad ke-20 memandang keberagaman ini bukan sebagai hambatan, melainkan tantangan yang harus diatasi.

Jawaban atas tantangan ini muncul di momen krusial, tepatnya pada 28 Oktober 1928, ketika ratusan pemuda dari beragam latar belakang suku, budaya, dan organisasi berkumpul dalam sebuah kongres di Batavia. Mereka datang dengan satu tujuan: menemukan jalan menuju persatuan bagi bangsa yang masih terjajah. Di sanalah, untuk pertama kalinya, sumpah yang kelak menjadi dasar bangsa kita—Sumpah Pemuda—lahir. Salah satu poin terpentingnya adalah pengakuan dan penegasan satu bahasa pemersatu: Bahasa Indonesia.

Keputusan ini tidaklah mudah. Mendeklarasikan satu bahasa berarti berani melepaskan ikatan primordial, melampaui batas wilayah, dan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok. Para visioner muda ini memahami bahwa tanpa bahasa yang sama, akan sulit untuk berkomunikasi, apalagi bersatu dalam melawan penjajahan. Karena itulah bahasa Indonesia dipilih bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai simbol identitas dan senjata ideologis perjuangan.

Komitmen untuk "mempertahankan bahasa persatuan, bahasa Indonesia" menjadi momen bersejarah yang mengubah jalannya sejarah. Sederhana, mudah dipelajari, dan telah lama digunakan sebagai lingua franca di nusantara, bahasa Melayu dianggap sebagai bahasa yang paling kondusif bagi persatuan. Dari sinilah, lahirlah bahasa Indonesia—bukan hanya warisan budaya, tetapi buah konsensus politik dan tekad kolektif anak bangsa.

Momen ini dapat digambarkan sebagai kelahiran sejati bangsa Indonesia. Jauh sebelum kemerdekaan diproklamasikan pada tahun 1945, Sumpah Pemuda telah menjadi tanda bahwa bangsa ini telah memiliki kesadaran kolektif: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Pemuda telah membuktikan bahwa persatuan tidak lahir dari keseragaman, tetapi dari kemauan menerima perbedaan dan mengubahnya menjadi kekuatan bersama.

Permasalahan

Kondisi sebelum ikrar : Sebuah pencarian jati diri bangsa

    untuk memahami betapa radikalnya sebuah momen sumpah pemuda dengan keterkaitannya dengan bahasa indonesia, maka kita harus melihat lanskap sosio-politik hindia belanda pada awal abad ke-20

    Kebijakan pendidikan yang dijalankan pemerintah kolonial, meski terbatas, secara tidak langsung melahirkan kaum intelegensia yang menjadi penggerak "drama nasionalisme" Indonesia. Secara tidak langsung pendidikan yang diberikan kolonial belanda menjadi pembuka mata para pemuda terhadap kesadaran nasin bangsa nya yang dijajah.  Mereka sadar bahwa feodalisme dan kolonialisme sudah menyebabkan bangsa yang pernah berjaya pada masa Sriwijaya dan Majapahit menjadi bangsa yang tertindas dan jatuh. Sebuah momen sosial yang membuat para pribumi menjadi inlander di kelas yang terbawah menumbuhkan perasaan diskriminatif yang pada akhirnya membangkitkan kesadaran sosial akan kemerdekaan

Pada awalnya, gerakan para pemuda masih terikat akan daerahnya masing masing, seperti Jong java, Jong Sumatranen Bond, dan Jong Ambon. Tetapi interaksi di kota kota besar seperti Batavia ( Jakarta ), Tempat mereka menuntut ilmu, memunculkan sebuah pemahaman akan sebuah keankaragaman dan memunculkan bibit bibit persatuan. Gagasan untuk bersatu di perkuat oleh tulisan - tulisan  dari Perhimpunan Indonesia di Belanda yang disebarkan melalui majalah "Indonesia Merdeka". Majalah ini mendorong para pemimpin pemuda seperti M. Tabrani, Sumarto, dan Sanusi Pane untuk mewujudkan gagasan persatuan nasional. 

Sumpah pemuda menjadi sebuah momen kunci akan titik balik lahirnya Bahasa indonesia. bahasa yang bukan hanya sekedar alat komunikasi namun sebagai media pemersatu bangsa akan kesadaran untuk merdeka dari para kolonial.

Pembahasan

Dua Kongres, Satu Tujuan: Melahirkan Bahasa Indonesia
Perjalanan menuju keterlibatan pemuda ditandai oleh dua kongres penting yang menggambarkan evolusi pemikiran pemuda.

Kongres Pemuda pertama (1926) adalah yang pertama kali secara serius mengeksplorasi gagasan persatuan. Pada kongres ini, Muhammad Yamin menyampaikan pidato yang menjanjikan bahwa bahasa Melayu pada akhirnya akan menjadi bahasa pemersatu bangsa Indonesia. Namun, momen paling krusial terjadi pada sidang panitia penyusun. Yamin mengusulkan poin ketiga dari ikrar tersebut, yang berbunyi:

"Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Melajoe."

Usulan ini ditentang keras oleh Bapak Tabrani, ketua panitia Kongres. Berbekal visi yang jelas, Tabrani menegaskan:

"Kita sudah mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia. Kita sudah mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Mengapa kita harus mengaku bahasa persatuan, bukan bahasa Indonesia?" Tabrani melanjutkan, "Jika bahasa Indonesia belum ada, kita akan melahirkannya melalui Kongres Pemuda Indonesia Pertama ini." Meskipun penuh semangat, argumen Tabrani, yang didukung oleh Sanusi Pane, akhirnya diterima sebagai gagasan yang layak untuk dikaji lebih lanjut. Kongres Pertama berakhir tanpa keputusan akhir tentang nama bahasa tersebut, tetapi benih-benih "Bahasa Indonesia" telah ditaburkan.

Kongres Pemuda Kedua (1928) menandai puncak dari seluruh perjuangan ini. Diselenggarakan pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928, kongres ini mempertemukan lebih banyak organisasi pemuda. Iklim nasionalisme telah menguat secara signifikan. Salah satu ciri kongres ini adalah semua pidato dan pidato disampaikan dalam "bahasa kita sendiri," alih-alih bahasa Belanda yang digunakan pada kongres pertama.

Di tengah pidato Bapak Sunario pada sidang terakhir, Muhammad Yamin menyerahkan dokumen berisi rumusan akhir kepada Presiden Kongres, Sugondo Joyopuspito. Rumusan ini merupakan perbaikan dari komitmen Kongres Pertama. Kali ini, usulan Bapak Tabrani, yang dirumuskan dua tahun sebelumnya, telah diimplementasikan. Poin ketiga dirumuskan dengan jelas:

"Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia." Rumusan tersebut disetujui secara bulat oleh seluruh panitia. Sebelum kesimpulan dibacakan, hadirin mendengarkan W.R. Supratman membawakan lagu "Indonesia Raya" untuk pertama kalinya, yang turut memperkuat semangat persatuan bangsa indonesia"Mendjoendjoeng bahasa persatoean, BAHASA INDONESIA". Rumusan tersebut disetujui dengan suara bulat oleh seluruh panitia. Sebelum putusan itu dibacakan, para hadirin untuk pertama kalinya mendengarkan alunan biola W.R. Supratman memainkan lagu "Indonesia Raya," yang semakin membakar semangat persatuan.

ikrar yang diucapkan pada malam 28 Oktober 1928 lebih dari sekadar rangkaian kata. Ikrar tersebut merupakan komitmen politik dan budaya yang fundamental. Dengan ikrar pemuda, jati diri nasional—satu bangsa, satu bangsa, dan satu bahasa—diciptakan dan dikuatkan oleh bangsa yang terdidik. Peristiwa ini menandai berdirinya sebuah bangsa secara de facto, jauh sebelum proklamasi kemerdekaan.

Ikrar pemuda menunjukkan bahwa kesadaran berbangsa mampu mengatasi perbedaan etnis, budaya, dan agama yang begitu besar. Keberhasilan para pemuda pada tahun 1928 membuktikan bahwa persatuan tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari kemauan bersama (kemaoean) yang berakar pada sejarah, hukum adat, pendidikan, dan kepanduan, sebagaimana ditegaskan dalam resolusi-resolusi kongres. Bahasa Indonesia, yang secara sadar "lahir" dari semangat persatuan ini, hingga kini tetap menjadi ikatan terkuat jati diri Indonesia kita.

Kesimpulan

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 bukan hanya sebuah komitmen pemuda, tetapi juga tonggak sejarah, yang menandai lahirnya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Dari perdebatan sengit antara Muhammad Yamin dan Bapak Tabrani, muncul sebuah keputusan penting: mengukuhkan "bahasa Indonesia" sebagai landasan komunikasi nasional. Momentum ini mengubah bahasa Melayu menjadi identitas nasional baru yang mampu melampaui batas-batas wilayah dan memupuk semangat persatuan. Sumpah Pemuda menunjukkan bahwa persatuan melalui bahasa menjadi senjata ideologis yang mengobarkan perjuangan kemerdekaan.

Saran

1. Untuk para generasi muda, Penting sekali untuk selalu menumbuhkan sebuah rasa y=cinta tanah air dan nasionalisme terhadap bangsa indonesia tercinta dengan menjadikannya bahasa utama yang baik dan benar. baik lisan maupun tulisan.

2. Dalam lingkup pendidikan, bahasa indonesia harus lebih dimaknai sebagai identitas nasional bahkan internasional, bukan hanya sebuah media untuk berkomnikasi tetapi menjadi wadah ekpresi wajah indonesia dan berpikiran kritis.

3. Di era globalisasi, bahasa indonesia perlu di pertahankan derajatnya di tengah gempuran gempuran pengaruh budaya - budaya asing yang kuat, sambil membuka jendela untuk menerima ilmu pengetahuan penegtahuan dan teknologi.

4. Sebagai Bangsa Indonesia, Kita Harus mengingat bahwa sebiah persatuan lahir dari kesadaran kolektif, sehingga menjaga bahasa indonesia juga berarti menjaga pondasi bangsa indonesia



Daftar Pustaka

Effendi, W. (2018). Sumpah Pemuda dan Tumbuhnya Kesadaran Berbangsa. Jurnal Abad, 2(2), 116–130. Universitas Terbuka Indonesia.

Wahyono, E. (2018). Dari Kongres Pemuda Indonesia Pertama ke Sumpah Pemuda.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memperkukuh Peran Bahasa Indonesia sebagai Wahana Intelektual dan Pemersatu Bangsa di Perguruan Tinggi Era Digital